Rabu, 16 November 2011

Selasa Sore di Ujung Kolam

Selasa sore di ujung kolam. Kolam sekolah yang selalu saja bisa jadi tempat membuang pandangan.
He he, kolam yang malas berteman taman.
Tiga hari berlalu tukang kebun sekolah telah memotong tebu.
Membersihkan rumput illalang yang pernah juntai menjulang.

Minggu lalu, ia tak terlihat seperti taman.
Setidaknya setelah dibersihrapikan,kini bisa jadi tempat yang bertambah indah untuk menemani obrolan.
Sudut belakang sekolahku ini memang nyaman. Kami bisa menerobos pandang ke sawah belakang, karena pagar sekolah ini takut menjadi penghalang.

Yah.... ini pagar yang bersahabat dengan para manusia. Itu sebabnya, saat jam makan tiba, banyak yang berebut menempati pinggir kolam untuk mencuri damainya suasana; suasana bagai di ujung sebuah desa. Hampir semua berebut menuju, dan juga tentu ... aku.

Aku. Aku rindu suasana desa. Ada sawah, ada sungai, ada pohon kelapa semampai....ah jadi ingat bapak sering mengajakku. Juga teringat temaram kala tiba ramadhan. Menunggu berbuka bersama kawan, kami pergi ke desa seberang menjenguk sang sungai dan berenang.
Lain lalu lain kini....

Di belakang sekolah ini yang ada hanya sungai kecil. Asyik juga kadang terdengar riaknya air, ditemani hinggap si pipit kerdill.

Mendampingi kolam itu, dimana sekawan ikan tiap hari menari, ada tiga deret kelas satu dua putri. Lewat ruang jendelanya kadang buncah terdengar suara bahana. Ada tawa riang belajar dan sembari senda, juga khsyuk doa pagi hari yang dilantunkan bersama. Sesekali sayup ayat Qur’an terdengar dari bisik lisan mereka di dalam sana.
hening .. sayup.. ramai ... terus berganti

Cahaya dunia mulai pulang berjanji senja. Aku masih disini. Menerawang sepi ruang-ruang. Berhadapan dengan deret kelas –kelas tadi, masih ada ruang perpus kami. Gudang ilmu jendela dunia. Ruang kutu buku ini, masih satu selasar dua ruang kelas anak-anak kelas 3 putri. Anak-anak putri yang satu frekuensi dengan kawan-kawannya segerombol anak putra muda bangsa, yang belajar di gedung seberang Masjid idaman.

Di lantai tiga yang menjulang, meski tak setinggi menara puri, disanalah hari-hari ini mereka sedang berjuang meniti setapak jalan untuk masa depan. Ujian nasional sudah di depan mata. Bangga aku dan kawan-kawanku menemani mereka.

Aku. Aku dan kawan-kawan guru. Kami yang sehati dalam rantai cita, berusaha jadi penopang mereka.Tiap bertatap aku mengajar, kuajak mereka berpetualang ke masa depan. Menanyakan apa cita mereka di hari kemudian. Mereka yang kan jadi tauladan untuk adik2-nya.
Inilah generasi kedua sekolah kami. Inilah tempatku kini. Mencoba memperbaiki diri sembari memberi kontribusi untuk bangsa dan dunia.

Yang lalu aku berkelana, menyaksikan taman manusia yang beberapa sudutnya...banyak orang berparas hati, hampir seperti taman satwa. Kini aku lelah berpetualang, karena lebih banyak bertemu tulang belulang tak beraturan.

Yang lalu bukan kini.
Selasa Sore di ujung kolam. Kolam yang jadi saksi. Kini aku menjadi guru. Berharap tenggelam syahid di samudera ilmu. Bersamaku para tunas bangsa putra putri pertiwi, yang di paras hatinya kucium bau syurga. Bau syurga yang kucium setiap hari di sini.

Di sini .... di satu sekolah yang sederhana, tapi bersama mereka... kurasa tiap gerak jadi penuh makna.
Di sini ..... bersama kawan-kawan guru, mencoba bersih hati kami, menyiapkan mereka.
Tiga kali tiga enam lima hari, temani mereka bersama hati.

Hati yang untuk mereka. Mereka, yang sebentar lagi akan berpamit. Mereka yang berapa hari lagi akan berada dimana, dan entah pula esoknya, ... ingatkah mereka tentang sekolah ini, Sekolahku, sekolah mereka.

Satu sekolah di ujung desa. Sederhana. Tapi siap meniti sulam makna untuk perubahan dunia.

(15 Nov 2011, Selasa Sore di ujung kolam. Bersama anak-anak klub jurnalistik. belajar mengajak jari menari. Materi Tengah November: membuat tulisan, based on deskriptif lingkungan. Tulisan lainnya dari anak-anak bisa dibaca di blog Jurnalistik Club SMA IT Nurhid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar